top of page

[Book Review] How To Keep Your Cool

  • Writer: Syllia Stera
    Syllia Stera
  • Apr 13, 2021
  • 5 min read

Updated: Jul 15, 2021


Judul: How To Keep Your Cool: An Ancient Guide to Anger Management (De Ira)

Penulis: Seneca Bahasa: Bahasa Inggris (terjamahan dari Latin) ISBN: 0691181950


Summary:

There is no emotion that anger does not overmaster.

The others have some measure of peace and quiet in them, but this one rages, in turmoil and furious movement—with an eagerness hardly human—for pain, weapons, blood, and torture, until it harms others while discarding its own good.

Menurut Seneca, anger is the ugliest of emotions. Dalam Seven Deadly Sins (tidak secara gamblang disebut seperti itu karena ini masih konsep awalnya, tapi kontennya kurang lebih sama) wrath- dalam bahasa Latin, Ira- adalah yang paling berbahaya karena bersifat paling destruktif, sulit dikendalikan dan menghilangkan semua rasionalitas kita. Orang masih bisa memakai logika mereka ketika merasakan emosi negatif lain seperti envy, luxury, greed, gluttony atau bahkan lust, tapi ketika marah, poof! Akal sehat dan logika hilang semua. Inilah alasan utama kenapa Seneca menganggap anger sebagai emosi yang paling buruk dan paling berbahaya.


Namun selama kita hidup, tidak mungkin kita bisa menghindari amarah sepenuhnya. Entah itu kita yang merasa marah atau orang lain yang marah sama kita, yang jelas emosi ini pasti akan selalu ada. Nah, bagaimana cara mengatasinya ?


Dalam essaynya, De Ira, Seneca memberikan pandangannya tentang cara menghadapi orang yang marah ke kita, dan bagaimana supaya kita sendiri pun tidak mudah jadi pemarah


Salah satu cara yang paling efisien buat menghadapi orang pemarah adalah dengan tetap sabar dan tidak ikut kepancing marah. Bisa juga dihadapi dengan prinsip sing waras ngalah. Mengalah disini bukan berarti kita pasrah terima aja ketika dizolimi ya. Kalau ada yang berbuat jahat pada kita tentu kita tetap harus lawan balik, jangan mau pasrah diinjek-injek. Tapi melawan disini adalah bukan melawan karena kita merasa marah, tapi kita melawan karena kita merasa hal itu bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan. Tapi, tentu saja jangan lupa memaafkan. Karena dengan memaafkan kita sendiri pun tidak akan terpancing ke dalam amarah dan dendam terhadap orang yang menyakiti kita.


It is best to repel instantly the first prickings of anger, to stamp out its very seedlings, to take pains not to be drawn in. For once it has knocked us off course, the return to health and safety is difficult.

Seneca juga mengajarkan bahwa supaya kita bisa mengendalikan amarah, kita harus latihan dari kecil. Makanya disini Seneca juga memberikan saran tentang cara pendidikan anak. Menurut Seneca, ketika mendidika anak kita harus bersikap lembut, tapi di saat yang sama juga tidak boleh memanjakan. Sifat manja bisa berkembang menjadi arogansi, yang ultimately akan berkembang lagi jadi amarah. Manusia yang arogan dan manja adalah manusia yang mudah marah, oleh karena itu anak tidak boleh dimanja supaya tidak tumbuh jadi orang pemarah.


Buat orang dewasa Seneca juga memberikan solusi supaya kita tidak gampang marah, yaitu dengan cara:


1. Selalu cool-headed. Gampangnya: masalah kecil nggak usah dibesar-besarin. Kalau kamu membesar-besarkan masalah, kamu Cuma menumpuk penyakit di hati, dan bikin harimu malah jadi tidak menyenangkan. Hidup cuma sebentar, suatu saat manusia akan mati. Daripada hidup ini diisi dengan amarah dan hal tidak menyenangkan, lebih baik diisi dengan canda tawa dan kebahagiaan, kan?


2. Tidak membiasakan untuk berprasangka buruk Jangan suka suudzon sama orang lain, menganggap kalau orang lain sengaja berbuat ngeselin buat ngerugiin kita. Tidak semua orang yang ngeselin berkelakuan sepert itu secara sengaja buat mancing amarah kita. Bisa jadi karena emang attitude-nya saja yang emang udah jelek dari sananya. Jadi nggak usah baper ya~


3. Berkaca kalau kita pun juga banyak kesalahan Biasanya, kita marah karena merasa orang lain berbuat salah pada kita. Tapi kita sadar nggak sih kalau kita sendiri pun sebagai manusia juga suka berbuat kesalahan yang sama pada orang lain? Jangan cuma melihat keburukan orang lain dan playing victim, ingatlah kalau kita juga punya banyak keburukan.


4. Bergaul dengan orang yang baik Tanpa sadar pergaulan kita juga mempengaruhi bagaimana sikap kita. Kalau kita bergaul dengan orang-orang yang kalem dan baik hati kita akan merasa segan buat bersikap ngeselin, tapi ketika kita bergaul sama orang yang nggak bener kita pun juga terpancing buat melakukan hal yang nggak bener. Makanya menjaga pergaulan itu penting supaya kita nggak terjerumus ke emosi negatif dan hal yang menyesatkan.


5. Istirahat mental dan fisik ketika capek Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Ketika capek (baik fisik maupun mental), kita akan lebih mudah buat terpancing emosinya. Oleh karena itu, istirahat juga penting supaya kita tetap bisa maintain kondisi mental yang sehat.


6. Lebih mengenal kelemahan diri sendiri dan tidak kebanyakan ekspektasi Tiap manusia punya kekurangan dan kelebihan yang berbeda-beda jadi penting bagi kita untuk mengetahui dimana bagian mental kita yang paling sensitif. Dengan mengetahuinya, kita bisa menghindari hal-hal yang bisa membuat kita marah karena hal sensitif itu terusik. Jangan juga kebanyakan ekspektasi karena ekspektasi yang tidak terjawab melahirkan kekecewaan, dan kekecewaan melahirkan kemarahan- entah kepada diri sendiri maupun kepada orang lain maupun hal lain di sekitar kita.



Seneca hidup di jaman yang penuh dengan pertumpahan darah, ketika kaisar Romawi yang memerintah semuanya tipe orang zolim yang amarahnya bisa bikin rakyat kehilangan nyawa. Dia sendiri sepanjang hidupnya selalu apes kena amarah para kaisar itu, dan bahkan sampai dihukum bunuh diri paksa oleh kaisar yang dulunya adalah murid dia sendiri. Makanya dia lebih mengerti dari siapapun apa efek terburuk dari sebuah amarah, dan bisa jadi guru terbaik soal amarah.


Tapi jujur, sebenarnya nggak ada yang istimewa dari penjelasannya Seneca mengenai cara menghindari sifat pemarah karena semuanya adalah norma kehidupan sehari-hari. But I’m sure that kebanyakan dari kita cuma sekedar ‘tahu’ tanpa pernah memikirkan implikasi dan alasannya. Karena kalau sudah marah, kita pasti rasanya cuma mau ngamuk doang dan nggak mau mikir sama sekali. Dan ketika marahnya sudah reda dan terlampiaskan pun kita juga sering nggak mau mikir lagi karena, well, siapa sih yang mau ingat-ingat kenangan nggak enak? Makanya ketika membaca ini rasanya kayak mendapatkan kembali akal sehat yang sempat hilang karena amarah itu.


Inti dari solusi yang ditawarkan Seneca disini adalah solusi khas Stoisisme: let it go ajah, nggak ada gunanya kita emosi karena cuma bakal ngerusak mood doang. Which is, well, khas Stoic banget. Mungkin kalau dilihat sekilas terkesan cupu dan bikin gregetan karena disuruh sabar melulu, tapi kalau dibaca lagi, sebenarnya intinya bukan disuruh sabar pasrah tapi justru harus mengedepankan self control dan logika. Ketika mau ngamuk, kita disuruh stop sejenak dan berpikir: ‘Apakah orang ini sengaja bikin saya marah atau nggak? Apakah worth it buat marah-marah disini?”. Dan ketika kita sudah menemukan jawabannya, barulah kita diminta bersabar. Truly a Stoic’s way of thinking, eh?


Yang menarik dari gaya penulisan Seneca adalah selalu ada contoh kejadian historis nyata yang dipakai untuk mendukung argumennya. Baik itu penggambarannya mengenai amarah maupun solusi yang ditawarkan, keduanya selalu didukung dengan berbagai anekdot yang berhubungan dengan topiknya. Dari sini kita bisa melihat betapa terpelajarnya beliau untuk orang pada jamannya.


(Kita juga bisa melihat betapa sensi-nya dia sama Caligula, soalnya dikit-dikit disebut sebagai bad example melulu)


Walaupun ditulis di jaman Romawi Kuno, pola pikir Seneca ini sama sekali nggak oudated dan sebenarnya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Which is not surprising karena sebenarnya banyak ahli teologi gereja yang terpengaruh dari pemikiran Seneca, dan pada akhirnya mempengaruhi nilai-nilai yang dianut gereja modern- and by extension, nilai-nilai masyarakat modern juga. It's my personal my opinion, tapi menurutku, filsafat yang seperti inilah yang sangat dibutuhkan orang-orang, terutama di jaman dimana manusia gampang banget kesulut amarahnya seperti sekarang ini.


Buku pertama yang aku baca soal Stoisisme adalah How To Die (esai-nya Seneca juga btw) dan Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang walaupun isinya menarik tapi tetap kurang relatable buatku karena, well, ajaran Stoisisme yang isinya minta orang buat sabar dan let it go itu susah buat masuk di aku yang tipenya suka nggak terima dan kurang legowo. But it’s different with this book. Akhirnya aku menemukan buku penerapan Stoisisme yang beneran bisa resonate dan relatable buatku.


I will recommend this book buat orang yang punya anger issues karena bisa memberikan pemahaman yang mudah dimengerti tentang emosi kita yang satu ini, dan bagaimana cara mengatasinya, Memang dengan baca buku ini kita nggak akan bisa mendadak berubah jadi orang yang pemaaf dan penyabar, tapi setidaknya kita bisa koreksi diri dan mendapatkan pemahaman baru untuk bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi.


Rating: 5/5

コメント


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2021 by Syllia's Book Trail. Proudly created with Wix.com

bottom of page